Mantra adalah sebuah suku kata, sebuah suara, sebuah kata atau susunan kata-kata yang didapatkan oleh para rsi ketika mereka sedang berada dalam meditasi yang dalam. Mantra bukanlah bahasa yang diucapkan oleh manusia. Suara-suara yang diterima dari alam bawah sadar akan menuntun sang pencari kebenaran menuju kesadaran yang lebih tinggi dan semakin tinggi hingga ia mencapai keheningan yang sempurna. Semakin tinggi kesadaran seseorang, maka mantra akan menunjukkan arti yang baru. Mantra seperti ini akan memungkinkan seseorang menyadari adanya dimensi kesadaran yang lebih tinggi. Dan adalah sebuah tindakan yang tidak masuk akal dan tidak berakal sehat jika ada yang mengeksploitasi tradisi yang mulia ini dengan memperjual belikan mantar-mantra ini di tempat jual beli,
Mantra pada hakekatnya adalah sama persis seperti manusia, memiliki berbagai lapisan tubuh, yang kasar, halus, yang lebih halus; dan yang paling halus. Kita ambil contoh Aum. Tiga huruf ini sebenarnya mewakili tiga kegiatan (bangun, bermimpi dan tertidur) atau juaga mewakili tiga lapisan tubuh yaitu, kasar, halus dan yang lebih halus. Akan tetapi wujud keempat dari sebuah mantra adalah yang terhalus, tanpa suara dan tidak terdefinisikan. Seorang siswa spiritual, jika ia memahami proses laya yoga (yoga distilasi), maka ia akan mengetahui wujud yang tanpa bentuk dan kesadaran super dari sebuah mantra. Mantra adalah sangat kuat dan sakti, sebuah mantra adalah wujud keseluruhan dari sebuah doa. Dan jika direnungi senantiasa, maka ia akan menjadi sebuah penuntun.
Aku terbiasa mengumpulkan berbagai jenis mantra bagaikan orang yang senang mengumpulkan benda-benda materi, dengan harapan bahwa dengan mantra yang baru aku dapatkan akan memiliki efek yang melebihi mantra yang sebelumnya. Kadang-kadang aku senang membandingkan diriku dengan para murid yang lainnya dengan berfikir,”Mantraku lebih baik dari mantra yang dimilikinya”. Saat itu aku sangat belum dewasa. Dan aku mengenangnya sebagai spiritualitas yang gila.
Terebutlah seorang swami yang tinggal dengan tenang di pedalaman
Aku jawab,”Aku ingin mendapatkan sebuah mantra”.
“Kalau begitu maka kau harus menunggu,”jawabnya.
Jika orang barat dating pdada seseorang untuk mendapatkan sebuah mantra, mereka siap untuk menghabiskan banyak uang untuk hal itu, namun mereka tidak akan mau menunggu. Dan pada saat itu demikianlah keadaanku. Aku berkata,”Swamiji, aku sedang terburu-buru.”
“Kalau begitu datanglah tahun depan,”jawabnya.
“Jika aku harus menunggu sekarang ini, berapa hari aku harus menunggu?”tanyaku.
“Kau harus menunggu selama aku ingin kau menunggu di sini,” jawabnya.
Maka demikianlah aku mulai menunggu dengan sabar. Satu hari, dua hari, tiga hari telah berlalu, akan tetapi sang swami tidak juga memberikan sebuah mantra kepadaku.
Pada hari keempat beliau berkata,”Aku akan memberikan sebuah mantra kepadamu, akan tetapi kau harus berjanji untuk senantiasa mengingatnya setiap waktu.”
Aku berjanji.
Beliau kemudian berkata,”Mari kita ke sungai Gangga.” Di pinggir sungai Gangga yang suci, sejumlah tak terhitung siswa spiritual dan para rsi sedang melaksanakan latihan spiritual dan telah diinisiasi di
Aku berdiri di pinggir sungai dan berkata,”Aku berjanji tidak akan melupakan mantra ini.” Aku kemudian mengulangi janjiku beberapa kali akan tetapi beliau belum juga berkenan memberikan mantranya.
Akhirnya beliau berkata,”Tidak peduli di manapun kau tinggal, hiduplah dengan gembira dan riang hati. Inilah mantranya. Bersikaplah riang hati senantiasa, meskipun kau berada di balik jeruji penjara. Dimanapun kau hidup,meskipun kau harus pergi ke neraka, maka ciptakanlah surga di
Pada saat itu aku merasakan perasaan yang bercampur antara bahagia dan sedih, karena aku berharap beliau akan memberikan mantra yang khusus untuk aku ucapkan. Akan tetapi beliau sangatlah praktis. Aku sudah menerapkan mantra ini dalam keseharianku dan menemukan bahwa mantra ini memberikan kesuksesan di mana-mana. Cara beliau memberikan pendidikan spiritual tampaknya seperti tabib yang terbaik, beliau memberikan kunci yang nyata untuk penyembuhan diri sendiri.
Swami Rama, dalam buku “Living With The Himalayan Masters”